Siapa
yang tidak kenal dengan Mohammad Natsir sang tokoh besar yang menjadi pemimpin
dan panutan. Beliau adalah tokoh pergerakan Islam dengan pemikiran yang
revolusioner. Selain pemikir beliau adalah arsitek Negara Kesatuan Republik
Indonesia ( NKRI ) . Beliau adalah pendiri partai Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi) sewaktu orde lama yaitu saat Bung Sukarno menjadi Presiden
Republik Indonesia ( RI ).
Mohammad
Natsir ( 17 Juli 1908 – 6 Februari 1993 ) adalah sosok yang lurus, menyatukan
kata-kata dengan perbuatan, politikus bersih, tajam dan konsisten dengan sikap
yang diambil serta bersahaja.¹
Kesederhanaan
beliau terlihat ketika menjadi Menteri Penerangan zaman Pemerintahan Bung Karno
, beliau memakai kemeja tambalan , sebuah penampilan apa adanya dan terkesan
jujur. Jarang sekali pejabat pemerintah yang berlaku seperti itu dan sulit kita
temui saat ini. Beliau juga pemimpin Dewan Da’wah Islamiyah selepas dari
jabatan politik. Mohammad Natsir adalah sosok artikulatif yang selalu
memelihara kehalusan tutur katanya dalam berpolitik.²
Menjadi
orang besar mempunyai rahasia tersendiri dalam setiap kehidupan seorang tokoh. Berkaca
dari perjalanan hidup Natsir, beliau
adalah seorang pembelajar dan intelektual cerdas bahkan menjadi kutu buku.
Terbukti saat Natsir muda belajar di SMA yang kala itu namanya Algemeene Middlebare School ( AMS )
sekolah Hindia Belanda yang hampir semua bahasa pengantarnya berbahasa Belanda.
Tiga
bulan pertama di AMS, ujian berat bagi Natsir adalah bahasa. Ia selalu
diejek karena tidak fasih berbahasa
Belanda. Kemudian ia mulai menyadari pentingnya menguasai bahasa sehingga
mulailah mengatur waktunya yaitu setiap sore ia belajar bahasa Latin dan
selepas maghrib ia mempelajari pelajaran sekolah. Nyaris tak ada waktu libur.3
Tiap
hari, selepas sekolah, Natsir pergi ke perpustakaan Gedung Sate untuk melahap
buku-buku bibliotek. Targetnya, satu buku satu minggu ( one book one week ) . Hal yang penting ia dalami dirumah, ia juga
memberanikan diri untuk terus menerus bercakap bahasa Belanda. 4
Seiring
dengan bertambahnya kemampuan bahasa Belanda, Natsir kemudian mengikuti lomba
mendeklamasikan syair bahasa Belanda
berjudul “ De Bandjir “ , sebelmnya ia juga berlatih dengan kawannya Bachtiar
Effendy yang sudah mampu berbahasa Belanda dengan baik. Berkat tekad dan
kemauan keras dalam belajarnya, Natsir meraih juara satu dalam lomba tersebut.
Hadiahnya adalah buku karangan Westenenk, Waar
Mensen Tigger Buren Ziyn ( Manusia dan Harimau Hidup Sejiran ).5
Sewaktu
gurunya si Meener mengajar ilmu bumi ekonomi, gurunya selalu menyindir
pergerakan poltik kaum nasionalis. Suatu kali, Meneer memberikan pelajaran
tentang “Pengaruh Penanaman Tebu dan
Pabrik Gula Bagi Rakyat di Pulau Jawa” ia menugaskan muridnya menulis makalah,
bagi Natsir ini membutuhkan dua pekan untuk menyelesaikan tugas paper-nya itu. Tiap hari dia pergi ke
perpustakaan untuk mencari literature tentang pabrik gula dan juga jurnal
terbitan kaum pergerakan dalam Volksraad yaitu
semacam Dewan Perwakilan Rakyat.6
Selain
kutu buku, Natsir juga jago dalam menganalisis secara matang dan tajam. Tiba
harinya untuk mempresentasikan makalah dengan analisisnya di depan kelas. Ia
menyodorkan bukti bahwa tidak benar Jawa menerima keuntungan dari pabrik gula
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Yang untung adalah kaum capital dan pejabat
bupati yang memaksakan rakyat menyewakan tanahnya kepada pabrik dengan harga
rendah.Sehingga setelah mempresentasikan analisinya dengan bahasa Belanda
dengan baik, suasana kelas sunyi dan Meneer diam, Natsir pun puas.7
Hidup
dalam didikan sekolah Belanda, membukakan jiwa Natsir terhadap dampak buruk
penjajahan. Jiwa perlawanannya menyala-nyala. Ketertarikannya pada politik
mulai tumbuh. Kepada Ahmad Hassan, pria keturunan India asal Singapura yang menjadi ahli agama di Organisasi
Persatuan Islam itu Natsir datang menimba ilmu agama Islam, menulis dan
berdiskusi.8
Sebagai
aktivis, Natsir juga aktif berinteraksi dengan tokoh pergerakan. Ia juga
menulis di majalah bulanan Pembela Islam sebagai
jalan perjuangannya. Natsir adalah seorang yang kutu buku yang melahap habis
buku-buku filsafat barat,baik kuno maupun modern, buku sejarah, sastra dan
rajin mengikuti berita Internasional dari berbagai jurnal. Natsir juga melahap
habis karya-karya Snouck Hurgronje di perpustakaan di antaranya Netherland en de Islam, buku yang
memaparkan strategi Hurgronje dalam menghadapi Islam. Buku ini membuat Natsir
bertekad melawan Belanda melalui pendidikan.9
Melihat
keteladanan Natsir tersebut, maka sudah saatnyalah kaum muda yang intelektual
ini harus bangkit, kita harus tumbuh menjadi Natsir-Natsir muda saat ini. Dalam
hal berkawan, walaupun Natsir berseberangan secara ideologi dengan Bung Karno,
beliau tetap berkawan akrab dan saling menghormati. Itulah kesantunan Natsir
dalam membangun kehidupan dengan ideologi Islam.
Maka,
sebagai pemuda kita saat ini harus mampu belajar lebih keras lagi untuk masa
depan peradaban yang lebih baik, strategi belajar dengan trilogi pembelajaran
masih tepat untuk kita gunakan yang meliputi membaca, menulis dan diskusi.
Saatnya kita bergerak dan berjuang dalam membangun wawasan intelektual yang
tangguh dengan mengenali dan membaca zaman.
Download bukunya di http://mubaroqdinata.blogspot.com/2011/12/mohammad-natsir-teladan-santun-di-awal.html
Referensi
:
1),2)3),4),5),6)7),8),9)
Lihat
di buku”Natsir Politik Santun di Antara
Dua Rezim,cetakan pertama 2011,penerbit KPG di hal.2,3,17,17,19,20,20,20,21.
KPG.2011.Politik Santun di antara Dua Rezim.Jakarta:
Gramedia