Sebuah muhasabah dalam miladku pada
Senin, 14 Rajab 1433 H.
Untuk Allah SWT puji syukur atas
segala nikmatNya,Rasulullah SAW yang membawa Islam yang cahayanya sampai
menyinariku, untuk Bapak dan Ibu yang luar biasa dalam mendidikku, sahabatku
yang selalu memotivasi dalam ikatan ukhuwah dan dekapan Rabithoh
Bismillahirrahmanirrahim…
Syukur
Alhamdulillah, sampai hari ini Engkau
telah memberikan hambaMu ini napas yang panjang dalam setiap alunan menit,
detik bahkan lebih sampai femtosekon masih Engkau berikan kepada hambaMu ini Ya
Allah. Saat ini dan detik inilah seperempat abad Engkau masih memberikan hak
umur kepada hambaMu ini yang masih banyak berlumur dosa kepadaMu, namun Engkau
masih tetap sayang dan mencintai hambaMu ini Ya Rabbi.
Engkau
lah yang membangunkan hamba ini sepertiga malam, menyiramkan air wudhu dan
menghadap wajah suciMu. Terima kasih Ya Allah atas segala nikmatMu yang telah
Engkau berikan kepada hambaMu ini Ya Allah. Berikanlah hambaMu ini rasa ikhlas
dalam beramal menuju kerihoanMu.
Sebagaimana
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy mengatakan :
“Sebuah
amal dari amal-amal hati, tetapi ikhlash merupakan amal hati yang pertama-tama,
karena sesungguhnya diterimanya amal-amal itu tidak akan sempurna kecuali
dengan ikhlas.Buah dari buah-buah tauhid yang sempurna karena Allah
Tabaraka wa Ta’ala yaitu dengan menyendirikan Allah Azza wa Jalla dengan ibadah
dan memohon pertolongan.”
Allah
SWT berfirman :
“Katakanlah:
sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah,
Tuhan Semesta Alam.” (Al An’am 162)
Sementara
itu Hasan al-Banna memberikan definisi tentang ikhlash yaitu:
“Yaitu
setiap al-akh muslim meniatkan dengan perkataannya, perbuatannya dan jihadnya
seluruhnya hanya untuk Wajah Allah, mengharap keridhaanNya dan kebaikan
ganjaranNya, tanpa melihat kepada harta atau kemasyhuran atau kedudukan atau
pangkat atau kemajuan atau kemunduran. Dan dengan demikian ia pejuang fikrah
dan aqidah, bukan pejuang kepentingan dan kemanfaatan.”
Ada
sebuah hadits shahih mutawatir masyhur yang berkaitan dengan masalah ikhlash
dalam niat ini.
Rasulullah SAW bersabda:
Dari
Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khaththab radhiyallahu anhu, dia berkata:
Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya
setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya
setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa
yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya
karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR
Bukhari-Muslim).
Begitu
pentingnya masalah ikhlash ini, sampai-sampai Imam Nawawi rahimahullah
meletakkan hadits di atas pada hadits pertama dalam kitab beliau Al-Arba’in
An-Nawawiyyah dan Riyadhush Shalihin. Demikian pula Syaikh Fuad
Abdul Baqi menempatkannya sebagai hadits di bagian awal dalam kitab beliau Al-Lu’lu’
wal-Marjan, yang merupakan kompilasi hadits yang disepakati oleh Imam
Bukhari dan Muslim. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini adalah sepertiga
ilmu“.
Sebuah
atsar yang masyhur dari Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu menegaskan akan
pentingnya dua syarat diterimanya amal, yaitu ikhlash dan shawab (sesuai dengan
sunnah). Beliau berkata:
“Sesungguhnya
amal itu apabila ikhlas tetapi tidak shawab maka tidak akan diterima. Dan jika
shawab tetapi tidak ikhlash maka juga tidak akan diterima, hingga terdapat
ikhlash dan shawab. Dan ikhlash itu adalah karena Allah dan shawab itu sesuai
dengan sunnah.”
Setelah
itu, Fudhail bin ‘Iyadh membaca ayat:
“…Maka
barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah
kepada Tuhannya.” (Al Kahfi 110).
Penyimpangan
amal terjadi ketika niat tidak lagi ikhlas. Keinginan untuk dilihat orang lain
atau pamer amal dinamakan dengan riya’. Sedangkan rasa ingin didengar orang
lain disebut sebagai sum’ah. Baik riya’ maupun sum’ah adalah dua penyakit yang
sangat berbahaya. Riya’ bahkan dikatakan sebagai asy-syirk al-ashghar (syirik
kecil), sebab pahala amal yang disertai riya’ akan musnah. Rasulullah SAW
bersabda:
“Sesungguhnya
yang paling takutkan atas kalian adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya,
apakah syirik kecil itu wahai Rasulallah? Rasulullah menjawab: Riya’.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad jayyid dan Ibnu Abi Dunya)
Bahkan
pelaku riya’ diancam dengan azab besar di neraka. Na’udzubillahi min dzalik.
Sebuah hadits shahih berikut ini sangat penting untuk menjadi renungan kita
bersama.
Dari Abu Hurairah yang berkata,
saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang mati
syahid di jalan Allah. Dia didatangkan kemudian ditampakkan kepadanya
nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya maka dia pun mengakuinya. Allah
bertanya, “Apa yang kamu lakukan dengannya?” Dia menjawab, “Aku berperang
untuk-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya
engkau berperang karena ingin disebut sebagai pemberani. Dan itu sudah kau
dapatkan.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup
di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.
Kemudian seorang yang
menuntut ilmu dan mengajarkannya dan juga membaca Al Quran. Dia didatangkan
kemudian ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sudah didapatkannya dan dia
pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kau perbuat dengannya ?”
Maka dia menjawab, “Aku menuntut ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Quran
karena-Mu.” Allah berfirman, ”Engkau dusta, sebenarnya engkau menuntut ilmu
supaya disebut orang alim. Engkau membaca Quran supaya disebut sebagai Qari’.”
Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas
wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka
Kemudian ada seseorang yang
telah mendapatkan anugerah kelapangan harta. Dia didatangkan dan ditunjukkan
kepadanya nikmat-nikmat yang diperolehnya. Maka dia pun mengakuinya. Allah
bertanya, “Apakah yang sudah kamu perbuat dengannya?” Dia menjawab, “Tidaklah
aku tinggalkan suatu kesempatan untuk menginfakkan harta di jalan-Mu kecuali
aku telah infakkan hartaku untuk-Mu.” Allah berfirman, “Engkau dusta,
sebenarnya engkau lakukan itu demi mendapatkan julukan orang yang dermawan, dan
engkau sudah memperolehnya.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk
menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.”
(Diriwayatkan oleh Muslim dan
Nasai, dan diriwayatkan oleh Tirmidzi dan ia menghasankannya, dan diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya)
Kurang apalagi kebaikan orang
yang berjihad, mempelajari dan mengajarkan ilmu, membaca Al Quran dan suka
berinfaq. Namun kebaikan itu musnah di sisi Allah SWT manakala orientasi amal
tersebut karena mengharap pujian manusia, bukan pujian Allah SWT. Dengan
demikian, penting sekali buat kita untuk selalu menata dan memperhatikan niat
setiap melakukan amal kebajikan.
Selain itu, yang merusak iman
bisa jadi kemasyuran dan pujian yang berlebihan.Cukuplah Allah SWT sebagai Dzat
yang memuji. Mereka berpandangan, pujian dari manusia dapat melengahkan dan
melenakan diri sehingga amal perbuatan tidak lagi ikhlash karena Allah.
Ibn Muhairiz berkata kepada
orang yang meminta nasihat kepadanya, “Jika bisa, hendaklah engkau mengenal
tetapi tidak dikenal, berjalanlah sendiri dan jangan mau diikuti, bertanyalah
dan jangan ditanya. Lakukanlah hal ini.”
Bisyr al-Hafi berkata, “Saya
tidak mengenal orang yang suka kemasyhuran melainkan agama menjadi sirna dan
dia menjadi hina. Tidak akan merasakan manisnya kehidupan akhirat, orang yang
suka terkenal di tengah manusia”.
Fudhail bin Iyadh berkata, ”Jika
engkau sanggup untuk tidak dikenal, maka lakukanlah. Apa sukarnya engkau tidak
dikenal? Apa sukarnya engkau tidak disanjung-sanjung? Tidak mengapa engkau
tercela di hadapan manusia selagi engkau terpuji di sisi Allah.”
Bagi aktivis da’wah, popularitas
dan pujian dari manusia dapat merubah orientasi da’wah seseorang. Dari da’wah
karena Allah, menjadi da’wah untuk mencari popularitas. Dari da’wah untuk
mendapatkan pujian Allah, menjadi da’wah untuk mendapatkan pujian manusia.
Sebenarnya, popularitas dan
kemasyhuran itu tidaklah jelek. Para Nabi, Khulafa ar-Rasyidin dan para Imam
adalah orang yang dikenal manusia. Ungkapan salafush shalih tersebut bukanlah
ajakan untuk ber’uzlah. Tetapi yang tercela adalah mencari kemasyhuran dan
kedudukan, serta sangat bercita-cita untuk mendapatkannya.
Beramal Secara Diam-diam
Amal yang dilakukan diam-diam
berpeluang lebih selamat dari riya’ dibandingkan dengan amal secara terbuka.
Allah SWT berfirman:
Jika kalian menampakkan sedekah
kalian maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan
kalian berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikanya itu lebih baik
bagi kalian. Dan Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian
kesalahan-kesalahan kalian, dan Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan”
(QS. Al-Baqoroh: 271).
Para ulama menjelaskan tentang
keutamaan menyembunyikan amal kebajikan (karena hal ini lebih menjauhkan dari
riya) itu hanya khusus bagi amalan-amalan mustahab bukan amalan-amalan yang
wajib. Sedekah yang wajib secara terang-terangan lebih afdhol daripada secara
tersembunyi. Adapun sedekah yang mustahab maka sebaliknya.” Sebagian mereka
juga mengecualikan orang-orang yang merupakan teladan bagi masyarakat, maka
justru lebih afdhol bagi mereka untuk beramal terang-terangan agar bisa diikuti
dengan syarat mereka aman dari riya’, dan hal ini tidaklah mungkin kecuali jika
iman dan keyakinan mereka yang kuat.
Secara khusus ada keuntungan
bagi orang-orang yang “hidden”. Dalam hadits Mu’adz, Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah SWT
menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan, bertaqwa dan yang menyembunyikan
amalnya. Yaitu orang-orang yang jika tidak hadir mereka tidak dicari, dan jika
hadir mereka tidak dikenal. Hati mereka adalah pelita petunjuk. Mereka keluar
dari setiap tempat yang gelap.”
Sabar dalam Berda’wah
Allah SWT memberikan ilustrasi
berupa kisah Nabi Nuh AS yang begitu sabar berda’wah selama 950 tahun (Al
Ankabut 14). Nabi Nuh selalu berda’wah siang dan malam tanpa kenal lelah (Nuh 5).
Beliau juga menggunakan berbagai metode, baik sembunyi-sembunyi maupun
terang-terangan (Nuh 8-9). Bahkan keluarganyapun juga tidak menyambut ajaran
beliau. Kesabaran beliau ditunjukkan ketika mendapatkan wahyu Allah SWT untuk
membuat kapal (Al Mu’minuun 27-28) dimana orang-orang kafir mengejek Nabi
Nuh dan para pengikut beliau (Hud 11).
Kesabaran dalam berda’wah
berbanding lurus dengan keikhlasan. Orang-orang yang ikhlash selalu bersabar
dalam menghadapi ujian dalam da’wah. Namun, terkadang ada orang-orang yang
ingin segera cepat-cepat menikmati hasil da’wahnya. Perilaku yang disebut
isti’jal, dilakukan oleh orang-orang yang mengubah tujuan da’wahnya, dari
da’wah murni kepada Allah SWT menjadi da’wah yang berorientasi kepada hasil.
Ketika sahabat Khubaib bin al-Arat menanyakan kapan datangnya pertolongan
Allah, Rasulullah SAW menjawabnya dengan ilustrasi kisah orang pada zaman
terdahulu yang tetap bersabar walaupun harus menerima ujian disisir dari sisir
besi. Di akhir, Rasulullah mengatakan (ولكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ) “Akan
tetapi kalian tergesa-gesa.” (HR Bukhari)
Semoga
dapat membawa umur ini menuju keberkahan dan kebarokahan menuju RidhoNya,sebuah
persembahan puisi :
ALLAH,
BERKAHILAH UMUR HAMBAMU
Perjalananku
telah berlalu
Setengah
abad telah ku lalui
Menapaki
hidup telah kurasa
Betapa asin rasa dunia ini
Allah…
Engkau
berikan hamba umur
Namun,
hamba belum bisa bersyukur
Engkau
beri hamba rizki
Namun,
belumlah hamba cari
Engkau
beri hamba cinta
Namun,
belum hamba rasa
Allah…
Betapa
hidup hambaMu ini berlumur dosa
Selalu
mendurhakaiMu
Hanya
sesal yang hamba rasa
Hanya
pilu yang menghantuiku
Allah…
Engkau
beri hamba nikmat
Engkau
beri hamba ilmu
Engkau
beri hamba tahta
Engkau
beri hamba umur
Jadikanlah
hamba ini selalu bersyukur
Allah…
Terimalah
taubat hambaMU
Berkahilah
sisa umurku
Barokahilah
umurku yang telah berlalu
Kuatkanlah
pijakan hambaMu
Untuk
meraih surgaMu
Delima
ranum, indah pesona
Terpasang
rapi dalam hati
Pesona
surga cinta
Membara
dalam alunan nadi
Meraih
bintang dalam juang
Meraih
mimpi dalam prestasi
Semoga
hamba mengingatMu
Hingga
akhir hayatku
Hingga
ukhuwah masuk bersamaku
Selalu
menghujam dalam dadaku
Dalam
dekapan tarbiyah dan harokahMU
Hingga
kemenangan da’wah mengalir dalam darahku
Allah,
berkahilah umurku….
Oleh : Beni Saputra
Versi PDF download
REFERENSI:
No comments:
Post a Comment